I will ask The Almighty to bring you down here…
I will ask The Almighty to set up my heart n my faith…
I will ask The Almighty to full fill me with half of dien with you…
Kalimat indah itu bukanlah sebuah lirik lagu, bukan juga syair yang dilantunkan oleh seorang pujangga. Kalimat itu masuk ke inbox hpku, dikirim oleh seorang pemuda yang lembut hatinya, sesaat setelah menelponku. Sebagai seorang wanita, tentu saja pipiku memanas, hatiku berbunga-bunga, nafasku memburu dan jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.
Wow, beginikah rasanya dilamar? Wait, emangnya aku dilamar? Pede banget sih aku … Beberapa saat lalu dia memang menghubungiku dan mengajukan dua pilihan. Tapi, benarkah ini bisa disebut lamaran?
Pria itu bernama Adi. Belum genap setahun aku mengenalnya. Kami bertemu di Jipang, sebuah room chat di Mig33, aplikasi dunia maya yang bisa diakses melalui ponsel. Saat itu aku sedang melanjutkan kuliah di Pulau Jawa, tepatnya di Kota Ungaran, Kabupaten Semarang. Karena aku kesepian di kos, hampir setiap waktu aku online di Jipang. Awalnya aku memakai nama eny_chan, tapi karena cintaku pada Jipang, akhirnya kuganti dengan pengamen-jipang. Roomchat ini begitu berbeda dengan yang lain. Warganya heterogen, berasal dari berbagai umur dan kalangan. Tapi bisa menjadi wadah bagi curhat dan gurauan para pengunjungnya. Itulah salah satu filosofi nama Jipang. Jipang adalah nama makanan ringan dari beras yang renyah dan manis. Semanis persahabatan kami dan serenyah canda tawa kami di Jipang. Aku sudah menganggap warga Jipang sebagai keluargaku. Aku menemukan banyak teman yang menyenangkan di Jipang. Salah satunya Adi, ia menggunakan nama tera_moslem. Tidak banyak hal yang aku ketahui tentang Adi, kecuali dia seorang muslim, berdarah Jawa, tinggal di Lereng Merapi, lulusan DIII Teknik, yatim dan sulung dari tiga bersaudara, sebagai seorang freelance konsultan, pekerjaannya tidak tetap, baik waktu, tempat juga penghasilannya.
Saat itu aku menganggap Adi sebagai teman. Kami hanya berinteraksi sesekali. Ia jarang ”main” ke Jipang karena sibuk bekerja. Sikapku padanya netral, sama seperti teman pria yang lain. Aku memang mempunyai banyak teman pria. Baik itu teman-teman ”sungguhan” maupun teman yang kukenal di dunia maya, yang sudah pernah bertemu, maupun yang hanya saling mengenal lewat chat. Bahkan aku sangat dekat dengan beberapa diantara mereka, tapi aku tidak berani melanjutkan hubungan terlalu jauh. Sejak dulu, aku berprinsip, pacar pertamaku adalah suamiku. Jadi aku bisa dengan bangga mengatakan pada suamiku bahwa beliau lah pria pertama yang menyentuh jiwa dan ragaku, utuh. Mungkin karena prinsip itulah aku tidak pernah jadian lalu berpacaran. Bukan berarti aku tidak pernah menyukai lawan jenis, aku pernah bahkan sering tertarik pada teman-temanku. Tapi sebatas itu, aku tidak berani mengutarakan isi hatiku, karena tahu konsekuensi dibelakangnya.
Bila baru berkenalan dengan pria -nyata maupun maya- maka aku akan menceritakan prinsipku pada mereka. Tapi bila ada teman lama yang kelihatannya mulai pedekate, maka aku akan bertanya pada mereka, maksud dan arah pedekate nya apa. Agar mereka tahu, bahwa aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Bahwa aku tidak bisa diajak berpacaran. Kalau berani, lamarlah aku. Aku sama sekali tidak menutup hati, hanya menjaga hati. Diam-diam, aku menilai pria-pria disekitarku. Apakah sesuai dengan kriteriaku atau tidak. Kita tidak tahu siapa yang akan menjadi jodoh kita kan? Bila tidak sesuai, maka dalam kepalaku mereka akan diberi stempel ”just friend”. Tapi bila sesuai, maka stempel yang kuberi adalah ”recomended”, sambil terus memberi nilai bila ada kekurangan atau kelebihan yang kutemukan.
Saat itu, Adi termasuk salah satu pria yang mendapat stempel ”recomended”. Tentu ada banyak alasan, tapi salah satu alasan terkuat adalah saat dia pernah mengatakan suatu hal padaku. ” Urip mung sepisan, tapi sengsoro kudune gur sepisan, ojo nganti tekan akherat ” yang artinya hidup cuma sekali, tapi seharusnya sengsara hanya sekali, jangan sampai di akhirat juga sengsara. Saat itu aku baru mengenalnya. Ia meminta pendapatku saat pekerjaannya dilanda dilema. Ia tidak setuju dengan sistem yang menurut Adi melanggar nuraninya sebagai seorang muslim. Ditengah diskusi, ia mengatakan hal itu. Saat itu aku berpikir... ” Wow, pria ini seumuran denganku, tapi kebijaksanaannya jauh melampaui usia kami ” Dan nilainya menjadi semakin melambung tinggi ketika dia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya walaupun harus mengganti uang kontrak. Sangat berprinsip sekali orang ini! Tapi sayang, nilainya turun drastis ketika dia bercerita bahwa dia menyukai seorang wanita teman kuliahnya dulu.
Mungkin karena kupikir dia sudah menyukai wanita lain, rasaku padanya menjadi tidak berkembang. Bahkan saat kami bertemu untuk yang pertama kalinya beberapa bulan kemudian. Selama setengah tahun mengenal Adi, aku baru bertemu dengannya sekali. Walaupun Jipang sudah dua kali mengadakan kopdar atau kopi darat dan aku selalu datang, tapi Adi tidak pernah ikut karena alasan pekerjaan. Hingga suatu ketika Jipang membuat kaos dengan lambang Jipang. Saat itu Adi sedang bekerja di Jakarta, sehingga tidak bisa mengambil langsung kaos Jipang, jadilah ia minta tolong padaku untuk mengambil kaos tersebut. Ia bilang, kapan-kapan akan diambil di kosku kalau Ia pulang ke Magelang.
Akhirnya saat itu tiba juga. Adi pulang ke Magelang untuk berlibur selama empat hari, dua minggu sebelum aku diwisuda. Waktu itu aku sedang berada di tempat Pakde di Semarang, sehingga kami memutuskan untuk bertemu di kosku, keesokan harinya. Aku memintanya untuk menungguku di Gerbang Kota Ungaran, karena kebetulan kosku dekat dari situ. Lucunya, kami tidak saling punya no telp masing-masing, jadi kalau mau berkomunikasi ya lewat Jipang. Pagi itu aku terburu-buru naik bis dari Semarang karena khawatir Adi tiba duluan di Ungaran. Tidak seperti biasanya, Semarang macet sekali pagi itu. Aku segera online di Jipang, siapa tahu Adi juga juga online. Ternyata benar , Adi sudah online dan mengatakan kalau dia sudah tiba di Gerbang Ungaran, Aku memintanya untuk menungguku. Akhirnya aku tiba setengah jam kemudian. Dari dalam bis aku bisa melihat dua orang pemuda sedang duduk menunggu di motor, masih lengkap dengan helm, masker, jaket dan sarung tangannya. Itukah Adi? Aku turun dari bis dan langsung mendatangi kedua pemuda itu. Ternyata benar. Adi dan temannya ku ajak untuk menuju kos ku yang tidak jauh dari situ. Pertemuan kami tidak lama, tidak sampai satu jam. Setelah menerima kaos Jipang, Adi pamit pulang. Masih ada urusan yang harus diselesaikannya di Magelang. Semua berjalan begitu biasa, tidak ada yang istimewa. Tak terbayangkan olehku, bahwa pertemuan biasa itu akan menjadi sebuah hubungan yang luar biasa.
Setelah wisuda, aku kembali ke kotaku. Terpisah ribuan kilometer dari petualangan dan kenangan selama setahun kuliah di Pulau Jawa, termasuk dari teman-teman chatku. Apalagi ditambah beberapa hari sebelum pulang hapeku hilang, sehingga aku tidak bisa online lagi. Sungguh tidak kusangka, karena tidak bisa lagi berkomunikasi lewat dunia maya, Adi lebih sering sms dan meneleponku. Awalnya biasa saja. Menanyakan keadaan dan pekerjaan baruku. Menanyakan aktivitasku sehari-hari dan kondisi keluargaku. Akupun sebaliknya. Jadilah hari-hariku dipenuhi dengan sms-sms darinya. Kuakui, hatiku berbunga-bunga. Aku semakin sering senyum-senyum sendiri ketika membuka sms. Aku seperti tidak rela berpisah dengan hpku. Kubawa kemanapun aku pergi. Termasuk saat sedang memasak di dapur. Pernah suatu ketika aku salah memasukkan garam di wadah ketumbar. Membuat Adi tertawa terbahak-bahak diseberang sana ketika kuceritakan dan membuat Ibuku bertanya apa yang sedang kupikirkan. Sepertinya anakmu ini sedang jatuh cinta Ibu. Ups... Jatuh cinta?! Benarkah??
Sepertinya ada yang salah dalam hubungan ini. Ya, komunikasi antara aku dan Adi sudah tidak wajar untuk kategori ”just friend”. Dan bujuk rayunya, serta bujuk rayuku –kalau itu bisa disebut bujuk rayu- sudah sering membuat emot wajah kami menjadi tidak beraturan, itu istilah kami berdua untuk wajah yang tersipu malu dan merah memanas. Entah ada apa dengan alarm dikepalaku. Mungkin karena kupikir, Ia sudah memiliki pujaan hati, jadi aku hanyalah teman baginya. Ketika aku bertanya, ternyata Adi mengatakan bahwa Ia sudah memupus perasaannya, sejak perempuan itu tidak memberikan jawaban ketika Adi mengajaknya menikah. Kata Adi, baginya, sebuah hubungan dengan wanita adalah menikah, atau tidak sama sekali. Nilainya kembali menanjak, drastis.
Ketika akal sehatku sudah kembali dan alarmku berbunyi dengan nyaring, aku mulai mempertanyakan mengenai hubungan kami pada Adi. Katanya, ia tidak ingin membicarakan hal ini lewat sms, ia akan meneleponku. Entah apakah Adi menganggap aku ini wanita yang tidak tahu malu atau lancang, aku hanya berpegang pada prinsipku. Aku tidak ingin terjebak pada perasaan yang salah dengan pria yang salah. Aku tidak ingin berlarut-larut menambatkan hatiku pada pria yang belum jelas jadi suamiku. Hingga suatu malam setelah sebulan setengah kami menjadi ”gila”, Adi meneleponku dan mengajukan sebuah penawaran.
”Aku menawarkan padamu dua pilihan, yang pertama kita menikah. Yang kedua kita berteman, dan kalau itu pilihanmu, kita harus mengurangi intensitas hubungan kita” begitu katanya.
Wooooww! Aku pun balik bertanya... “Kalau kamu, pilih yang mana?“
Aku mendengar Adi menarik nafas panjang, dan dengan hati-hati dia menjawab ”Kalau aku, pilih yang pertama...” Subhahanallah... tak terkatakan bagaimana rasanya. Akhirnya aku meminta waktu seminggu untuk memberikan jawaban. Ini bukan hal yang main-main. Aku senang, untuk pertama kalinya ada pria yang mengajak menikah. Tapi banyak hal yang harus dipertimbangkan. Aku dimana, dia dimana. Aku baru mengenalnya beberapa bulan, baru bertemu dengannya sekali, belum mengenal keluarganya, belum mengenal jauh sifatnya. Dan bagaimana dengan keluarga besar kami, bisakah menerima kami. Bagaimana orangtuaku? Mereka sudah sepuh. Aku bungsu dan kakakku tinggal di Jakarta, tidak mungkin meninggalkan mereka disini untuk mengikuti Adi kelak. Bagaimana pekerjaanku, masihkah aku diijinkan bekerja? Lalu kalau kuterima, kapan waktu pernikahannya? Bagaimana dananya? Aku belum punya tabungan sama sekali saat ini. Dan aku pun tahu dia juga begitu. Huffttt... Aku tidak mengerti bagaimana pikiran sebanyak itu berkecamuk dikepalaku dengan begitu cepat beberapa detik setelah Adi menutup telponnya.
Dalam kekacauan pikiranku, hpku berbunyi, Adi mengirim sebuah sms. ’Aku akan memohon pada Yang Maha Kuasa agar membawamu kesisiku, memantapkan hati dan perjuangank serta melengkapi separuh agamaku denganmu...”. Aku menjadi tenang, sekaligus berbunga-bunga. Ia tidak main-main. Aku memantapkan hatiku, Aku juga akan berdoa pada Allah., menyerahkan segala urusan kepadaNya. Aku akan istikharoh.
Satu minggu yang kuminta untuk mempertimbangkan jawabanku, juga kupakai untuk menilai lebih jauh kesungguhan Adi. Dia ingin menikah untuk menentramkan hatinya, membuatku menjadi halal baginya, membuat bujuk rayu diantara kami bernilai pahala. Dia mengerti keadaan keluargaku bahkan bersedia untuk meninggalkan kampung halaman, pekerjaan dan keluarganya untuk menikahiku. Dia tidak akan melarangku bekerja karena dia juga menyukai pekerjaanku. Dan dia juga berkata, seandainya aku juga mau menikah dengannya pun, Ia akan menanyakan dulu pada Ibunya, dan aku menanyakan pada orangtuaku. Bila ada yang tidak setuju, maka hubungan ini berhenti sampai disini. Ia juga bilang, bahwa ia nekat melamarku, dalam keadaan tidak punya tabungan. Ia hanya berpikir, menikah adalah niat yang baik, dan Allah pasti akan memudahkan, tanpa kita mengerti bagaimana jalannya.
Subhanallah, semakin hari aku semakin mantap. Nilai Adi semakin melambung tinggi, dan pada akhirnya, Bismillah, aku menjawab ”iya”. Aku bersedia menikah dengannya. Ketika ditanya kenapa, aku menjawab, ”Karena kamu berani Adi.Kamu berani melamarku. Kamu menawarkan pernikahan. Tujuanmu menikah sama denganku. Mungkin kita banyak perbedaan, tapi prinsip hidup kita sejalan. Kamu mau menerima kekuranganku dan bersedia menerima keluargaku. Semoga Allah meridhoi niat kita”.
Bersyukur orangtua kami menerima dengan baik rencana pernikahan kami. Aku benar-benar berterimakasih kepada Bapak dan Ibu, yang bersedia menerima calon menantunya tanpa banyak bertanya. Padahal aku sudah menjelaskan, bahwa aku mengenal Adi lewat dunia maya, dan baru sekali bertemu dengannya. Sama sekali tidak ada jaminan bahwa Adi tidak menipuku, tapi aku percaya padanya. Aku juga dengan jujur menceritakan bahwa Adi bukanlah pria kaya raya. Penghasilannya tidak tetap, dan pekerjaannya pun berpindah-pindah. Bapak hanya bilang, Jodoh dan Rizki itu Allah yang mengatur, kalau aku sudah mantap dengan pilihanku maka mereka akan mendukung. Aku benar-benar takjub mendengar kata-kata Bapak.
Rencana kami menikah sesegera mungkin belum dikabulkan oleh Allah. Proyek Adi di Jakarta selesai sebulan kemudian dan Ia harus menganggur selama tiga bulan. Kami tetap berniat untuk menikah secepatnya, dan terus berdoa agar Allah meudahkan jalan kami. Alhamdulillah, Adi mendapatkan proyek di Dumai, Kepulauan Riau dan mendapatkan jatah pulang tiga bulan sekali. Saat menerima pekerjaan itu, Adi sudah berniat, kepulangannya yang pertama akan dipakai untuk mengunjungi kota ku. Untuk melamarku secara resmi pada orangtuaku. Aku semakin tidak sabar menunggu saat itu tiba, pertemuan kedua kami akan menjadi hari yang bersejarah dalam hidupku.
Adi datang melamarku seorang diri. Berkali-kali aku menanyakan kepada orangtuaku apakah tidak masalah bila Adi tidak didampingi keluarganya. Sekali lagi Bapak melontarkan jawaban yang membuatku kagum . ”Menurut Bapak malah gentle, kalau Adi berani melamarmu sendiri. Bapak dulu juga melamar Ibumu sendirian”. Subhanallah.... Tidak kusangka Bapak dan Ibu begitu mudah menerima keadaan kami.
Hari dimana Adi datang, tidak akan kulupakan. Aku masih bekerja, ketika Ia sampai di rumahku. Di perjalanan pulang, hatiku berdebar tidak karuan. Malu, bahagia, bingung. Emot wajahku kembali tidak beraturan. Hingga aku sampai di depan pintu rumah... Ia tersenyum padaku. Canggung. Wuaaaa.. ingin rasanya aku menghilang. Aku cepat masuk kamar, tapi ia malah mengirim sms. ” Hai cantik, mau ya jadi istriku ?”. Malamnya ia melamarku dengan tenang. Dihadapan orangtuaku, Ia memohon agar dapat menikahiku sesegera mungkin. Karena beberapa pertimbangan, akhirnya kami memutuskan bersama, pernikahan kami akan dilangsungkan enam bulan lagi. Barakallah.. Senang, artinya cukup waktu bagi kami untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sedih, karena pertemuan ketiga kami baru akan terjadi enam bulan lagi. Lama sekali...
Ternyata enam bulan tidaklah lama. Ia kembali bermasalah dengan pekerjaannya. Adi tidak sreg dengan sistem dan lingkungan kerja yang ada di Dumai. Ia meminta ijin padaku untuk tidak kembali ke Dumai dan menunggu pekerjaan lain datang. Aku mengijinkannya. Aku tidak akan memaksa Adi kalau hal itu bertentangan nuraninya. Walaupun sebenarnya sedikit khawatir. Biaya menikah di kotaku tidak sedikit. Apalagi Bapak adalah orang yang dituakan dan aku dalah anak bungsu. Betapapun sederhananya rancangan pernikahan yang kami susun, tetap membutuhkan banyak biaya. Kami berdua hanya dapat berdoa mengharap pertolongan Allah atas niat baik kami. Kami benar-benar tidak tahu bagaimana jalannya. Kami hanya yakin, pasti ada kemudahan dibalik semua skenario Allah atas hidup kami.
Yang terjadi selanjutnya benar-benar diluar kuasa kami. Sampai detik ini kami belum pernah melihat secara utuh uang sejumlah biaya pernikahan kami. Lalu darimana uangnya? Entahlah.. Allah Maha Kaya, Maha Tahu kebutuhan hambaNya. Harga undangan, souvenir, rias pengantin, dekorasi, tenda, makanan, fotografer bahkan tiket pesawat Yogya-Balikpapan pun seolah memihak pada kami. Masih banyak lagi kemudahan-kemudahan lain yang tidak dapat kusebutkan satu persatu. Kami juga dapat berkoordinasi dengan baik walaupun terpisah jarak.
Masih banyak lagi kemudahan-kemudahan lain yang tidak dapat kusebutkan satu persatu. Termasuk orangtuaku yang tidak begitu mempermasalahkan tentang biaya pernikahan. Mereka bahkan sangat menghargai uang yang diberikan Adi kepadaku untuk membantu biaya pernikahan, karena itu merupakan hasil penjualan emas Ibunya Adi. Mereka juga tidak pernah meributkan status Adi yang saat itu belum bekerja lagi. Sekali lagi Bapak mengatakan padaku. ” Rejeki itu Allah yang ngatur Nduk, sekarang belum ada. Siapa tahu setelah menikah rejekinya makin lancar. Yang penting kita pandai-pandai bersabar ketika sempit dan bersyukur ketika lapang”
Subhanallah... Terimakasih banyak Bapak, Ibu.. Kalian telah begitu banyak mengajarkan ilmu hidup padaku. Aku berharap kami dapat membahagiakan kalian. Aku berharap dapat merawat kalian dengan sebaik-baiknya perawatan.
Pertemuan ketigaku dengan Adi adalah beberapa hari sebelum kami menikah. Pernikahan kami dilangsungkan secara sederhana tapi meriah. Banyak kerabat yang datang ikut mendoakan. Tiada henti-hentinya aku berdoa, agar pernikahan kami menjadi pernikahan yang berkah, yang dapat membuat orang-orang disekitar kami menjadi bahagia. Adi benar-benar pindah kekotaku, meninggalkan keluarga, teman-teman, dan kampung halaman. Betapa besar pengorbanan Adi untuk menikahiku. Di kota ini Ia sebatang kara, hanya mengenal aku dan keluargaku. Aku berharap agar dapat membahagiakannya dengan menjadi istri yang baik bagi Adi.
Pada usia lima bulan pernikahan kami, kami berkesempatan untuk pulang ke Magelang. Mengunjungi rumah orangtua Adi untuk pertama kalinya dan untuk mengikuti kopdar Jipang yang ketiga. Menjadi kesempatan pertama Adi bertemu langsung dengan warga Jipang yang telah mempertemukan kami. Walaupun kini Jipang di Mig33 sudah tidak seramai dulu, tapi kami tetap menjalin silaturahmi lewat facebook dan sms. Jipang sungguh istimewa bagi kami, khususnya aku dan Adi. Bahkan ternyata namaku di hp Adi masih tetap pengamen-jipang sampai sekarang.
Itulah ceritaku... Aku bahagia menjadi istri Adi, suami yang kutemukan di dunia maya. Terimakasih Mig33, terimakasih Jipang, dan terimakasih Adi....
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/05/14/lomba-menulis-kisah-nyata-dunia-maya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar